April 19, 2013

rumah kelak

Kemarin aku bertanya keras tentang rumah. Dimana harusnya ia berada. Kemana seharusnya aku pulang. Dan seperti apa seharunya rumah yang nyaman dan layak lengkap dengan kehangatannya untukku.

Beberapa mereka suka tinggal di rumah yg bertingkat, supaya banyak kamar tidur jika mereka kelak memiliki banyak buah hati. Beberapa lainnya suka yg halamannya luas, supaya anak-anaknya punya tempat bermain, gak melulu ke tempat bermain sempit di banyak pusat perbelanjaan. Sedang yang lain masih bingung dan berdebat sendiri rumah seperti apa yg menjadi rancangan terbaik untuk kehidupan kelak.

Catatanmu yang aku intip pagi tadi cukup bikin aku senyum-senyum sendiri. Bukan bahagia, tapi merasa lucu. Lalu aku sangat lega menertawakan kebodohanku dan matinya logikaku kemarin-kemarin.

Harusnya rumah tidak dicari. Tidak ditinggalkan kalau kita tidak nyaman. Tidak mencari yang baru untuk memastikan hidup kita akan terus nyaman ke depannya. Memilih yang hangat agar kita betah berlama-lama di dalamnya.

Harusnya bukan salah satu mencari rumah atau keduanya saling mencari. Bukan salah satu pemilik rumah, sedang yang lainnya hanya ngontrak. Kemudian berlaku pemilik rumah bisa mengusir karena yang ngontrak kurang ajar, atau yang ngontrak meninggalkan rumah sebelum masa kontrak habis karena rumahnya tak lagi nyaman.

Kalau aku kemarin cukup cerdas dan percaya logikaku untuk beraksi, aku mungkin tak akan kesasar sejauh ini.

Rumah itu dibangun, berdua. Dengan pondasi sekuat komitmen, dan tinggi rumah setinggi menggantungkan angan kehidupan supaya jauh lebih baik. Luasnya seluas maaf yang selalu kita junjung.