Langit Frankfurt, 22 April 2009
Aku baru saja mendarat sejak 18 jam lalu meninggalkan kehangatan rumah, sapaan pagi hari ayah ibu dan adik, dan bekas pijakan dasarku disana.
Bergegas menemui guru sekaligus pembimbingku yg sudah duduk di meja penyambutan lengkap dengan bratwurst untuk makan malam kami.
Mataku tertuju pada satu persatu peserta yg mulai meninggalkan bahasa masing-masing sama sepertiku, dan saling berbincang tentang eloknya negara mereka
Laut, pantai, dan tanah kami adalah topik yg selalu aku hadirkan di berbagai perbincangan hangat pada kesempatan apanpun.
Disana aku belajar untuk beradaptasi dengan berbagai cara mereka berpakaian, gesture yang menyebalkan, sampai tatapan mata tajam yg bikin ngamuk.
Langit Frankfurt petang itu seakan menjadi sendratari bagi kerja payahku 3 bulan menjelang keberangkatan.
Bagaimana aku pernah menggantungkan mimpiku tinggi-tinggi disini (dari Indonesia)
Setiap malam aku berusaha menyentuhkan hatiku pada Allah, karena tanpa aku bisikkan sekalipun Ia dapat membacanya.
Di Frankfurt, 4 tahun lalu angin menitipkan salam untukku pagi itu yg sedang berjerih payah mengerjakan soal-soal ujian nasional yg (sementara itu) menjegal aku untuk tidak berdiri di bawah langit tempat aku menggantungkan mimpiku tinggi-tinggi.
Aku ingat betul bagaimana aku memutar filmku sendiri saat harusnya aku berkonsentrasi pada tes kelulusan ini.
Bagaimana roda tiba-tiba berbalik dengan cepat dan semakin menjauhkan aku dari langit tempat mimpiku tergantung.
Bagaimana aku rasanya ingin berontak melihat sesuatu yg sudah ku genggam tiba-tiba sudah tidak ada di genggaman
seperti balon udara berwarna warni di tengah langit senja yang memberikan kontras.
begitulah aku menatap mimpiku sedang dijunjung langit yg tinggi, terlihat sangat jelas diantara redupnya senja.
biarkan mimpiku memiliki warna bahkan cahayanya sendiri, bukan bercahaya karena bias dari teriknya siang, buktinya ia tetap terlihat jelas meskipun sedang tak ada matahari di baliknya.
kalaupun saat itu aku sudah menaiki balon udaraku, mungkin saja angin belum membawaku ke langit Jerman atau sedang tidak memungkinkan untuk menjemputnya.
di Langit Frankfurt, aku masih menggantungkan mimpiku melayang disana.
Menjadi tujuan dari lajur berlariku.
Menjadi kontras saat senjaku, agar aku masih bisa tetap menatapnya.
Biarkan menjadi doa-doaku yg dekat dengan Allah.
Dan menjadi bahagiaku saat aku dapat menjemputnya.
Amin
No comments:
Post a Comment