Sudah lama aku singgah di rumah yg tidak berpenghuni, usang dimana-mana.
Ceritapun sudah tamat dan menua menjadi debu
Sang empunya rupanya masih belum ingin nyaman menjadi pacar si rumah.
Jadilah rumahnya dibiarkan mengusang.
Kalau mampir, atau menjadi penghuni ya silahkan, kalau tak minat ya jangan dilihat.
Memang harus sabar meniti satu persatu debunya, harus telaten setiap hari.
Aku pamit sore itu.
Karena aku punya sesak napas dan alergi debu.
Apalagi debu yg tak pernah selesai tapi tetap selalu menyesakkan.
December 25, 2012
December 17, 2012
Pulang ... Pulang ... Pulang ...
Kudapati ia menganga dengan lebarnya juga ikut menyebarkan rona.
Mungkin itulah mengapa aku masih mendamba, karena ia tak ada disini untuk bersenggama dengan tawa.
Aku masih rutin menatap tanggal yg sama bahkan saat kita memiliki dimensi yg berbeda.
Dan setelah aku menyelesaikan spaghetti di hari mingguku aku masih juga menengok ke depan rumah.
Lihat, ini kan rumah yg pernah menjadi ingin kita. Di pesisir, dengan anggrek gantung berwarna ungu. Dua kursi berhadapan dan latar yg cukup lega jika anggota kita bertambah, bukan ? :)
Aku rasa tak perlu aku bersumpah sungguh untuk menyampaikan rindu.
Ini bukan hal kecil, ini besar sekali.
Dia meloncat-loncat dan akan segera tumpah.
Dimana aku harus menampungnya saat gelasku tak lagi bisa.
Kalau aku bisa menaruhnya di saku celanaku aku pasti akan membawanya kemana saja.
Namun kenapa disanapun juga tak ada celah?
Tuh kan, aku sudah bilang. Jangan membekaskan apapun kalau kau pergi.
Biarkan aku tetap menjaga rumahmu berteman angin pantai dan dengkuran ombak-ombak saat bermalasan di tengah hari.
Kemudian aku menuliskan huruf-huruf yg sengaja tidak aku rangkai.
Menggenggamnya dalam kepalan dan menebarkannya di tepi laut.
Nanti ada kehendak Tuhan yg merangkai huruf-hurufku.
Juga biar menjadi tugas Tuhan untuk menyampaikannya pada siapa. Bisa jadi bukan kau.
Aku masih belum berani menulis surat untuk kutitipkan pada hujan sore nanti.
Maafkan jika rindu masih menjelma menjadi butiran rasa saja.
Pulanglah, akan kutumpahkan semuanya.
Mungkin itulah mengapa aku masih mendamba, karena ia tak ada disini untuk bersenggama dengan tawa.
Aku masih rutin menatap tanggal yg sama bahkan saat kita memiliki dimensi yg berbeda.
Dan setelah aku menyelesaikan spaghetti di hari mingguku aku masih juga menengok ke depan rumah.
Lihat, ini kan rumah yg pernah menjadi ingin kita. Di pesisir, dengan anggrek gantung berwarna ungu. Dua kursi berhadapan dan latar yg cukup lega jika anggota kita bertambah, bukan ? :)
Aku rasa tak perlu aku bersumpah sungguh untuk menyampaikan rindu.
Ini bukan hal kecil, ini besar sekali.
Dia meloncat-loncat dan akan segera tumpah.
Dimana aku harus menampungnya saat gelasku tak lagi bisa.
Kalau aku bisa menaruhnya di saku celanaku aku pasti akan membawanya kemana saja.
Namun kenapa disanapun juga tak ada celah?
Tuh kan, aku sudah bilang. Jangan membekaskan apapun kalau kau pergi.
Biarkan aku tetap menjaga rumahmu berteman angin pantai dan dengkuran ombak-ombak saat bermalasan di tengah hari.
Kemudian aku menuliskan huruf-huruf yg sengaja tidak aku rangkai.
Menggenggamnya dalam kepalan dan menebarkannya di tepi laut.
Nanti ada kehendak Tuhan yg merangkai huruf-hurufku.
Juga biar menjadi tugas Tuhan untuk menyampaikannya pada siapa. Bisa jadi bukan kau.
Aku masih belum berani menulis surat untuk kutitipkan pada hujan sore nanti.
Maafkan jika rindu masih menjelma menjadi butiran rasa saja.
Pulanglah, akan kutumpahkan semuanya.
Cukupkan dengan harap
Malam tadi malaikat mampir di atas kelambuku.
Ya, dia membawa serta catatannya untuk dipamerkan. Mungkin batinnya aku akan menanyakan telah seberapa bagus dia mencatat aku.
Sempat aku hampir keceplosan untuk menanya kita.
Namun lagi-lagi kamu membuat aku sesak tentang aku.
Biar aku selesaikan dulu urusan mendebarkasikan harap.
Semoga malaikat tidak mencatatat seberapa besar harap yang kamu punya.
Karena sampai saat pagi mendesah lembut di balik telinga, aku masih percaya akan harapan.
Entah apakah itu masih kau simpan rapat atau telah dinikmati debu-debu kamarmu sebagai dongengnya karena ia telah mengusang.
Itulah mengapa malam selalu rutin membuka jendelanya agar malaikat bisa menyisip dalam lengahku.
Kalaupun ia mencatatat, semoga ia tak berniat untuk membocorkan rahasia itu ke aku.
Percaya masih menjadi satu kata yg terucap dengan artikulasi cukup jelas.
Meskipun dengan notasi yang kembang kempis sama seperti saat aku mencari-cari kemana harapanku.
Dan sampai pagi datangpun, harapan masih juga menjadi tumit dimana percayaku berinjak.
December 4, 2012
Menunggu malam
Pagi mengajakku berbincang di balkon kecil rumahku.
Ia bercerita banyak. Hingga akhirnya ........
"Lalu, apa kabar tentang belajar berbesar hatimu?," celetuknya tanpa menggubris sedang apa lukaku saat ini karena ucapannya.
Aku pernah lupa bahwa aku harus belajar berbesar hati.
Sempat aku bersemangat, namun semangatku tiba-tiba mengarang, terbakar, dan terbang menjadi abu sombong yg bahkan sempat lewat di pipi.
Aku pernah sombong dengan tekadku untuk berbesar hati.
Tapi badut-badut itu selalu mampir ke balkonku untuk bercerita 'aku-dia'
Aku pernah kuat berdiri menginjak tekad di bawah telapak
Selalu ada yg melemaskan tungkakku.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) di setiap sentimeter aku beranjak.
Cangkir kopinya yg masih terpajang rapi bersebelahan dgn milikku.
Tali sepatunya yg lepas sebelah dan menyelip di bawah meja televisi.
Atau mungkin jaket kulitnya yg masih tergeletak di kursi makan.
Setelah kita berkecamuk dgn marah malam itu, aku tidak membereskan apapun.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) dalam sulaman yg kubuat di otakku
Selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) menjerit-jerit saat kujeruji di ruang gelap
dan selalu ada dia yg melihatku menangis di balkon setiap kali aku berbincang dengan pagi.
ssstttt, jangan bilang-bilang! sebenarnya aku tahu dia mengintipku.
Aku bahkan pernah melihatnya menjadi terlalu naif terhadap kebesaran hati.
Bisa apa aku dgn berbesar hatiku?
Lagi-lagi "aku menunggu" masih terletak cantik dalam :draft: ku
Aku tidak tahu apakah ini namanya berbesar hati? Rela? Apalah namanya.
Pagi tetap memantapkanku untuk tetap berpura-pura dalam terangnya.
Katanya "biarkan nanti saat kau telah berbesar hati, kau ada dalam malam. supaya saat pedihnya kau dapati, kau dapat bermuram bersamanya"
Ia bercerita banyak. Hingga akhirnya ........
"Lalu, apa kabar tentang belajar berbesar hatimu?," celetuknya tanpa menggubris sedang apa lukaku saat ini karena ucapannya.
Aku pernah lupa bahwa aku harus belajar berbesar hati.
Sempat aku bersemangat, namun semangatku tiba-tiba mengarang, terbakar, dan terbang menjadi abu sombong yg bahkan sempat lewat di pipi.
Aku pernah sombong dengan tekadku untuk berbesar hati.
Tapi badut-badut itu selalu mampir ke balkonku untuk bercerita 'aku-dia'
Aku pernah kuat berdiri menginjak tekad di bawah telapak
Selalu ada yg melemaskan tungkakku.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) di setiap sentimeter aku beranjak.
Cangkir kopinya yg masih terpajang rapi bersebelahan dgn milikku.
Tali sepatunya yg lepas sebelah dan menyelip di bawah meja televisi.
Atau mungkin jaket kulitnya yg masih tergeletak di kursi makan.
Setelah kita berkecamuk dgn marah malam itu, aku tidak membereskan apapun.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) dalam sulaman yg kubuat di otakku
Selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) menjerit-jerit saat kujeruji di ruang gelap
dan selalu ada dia yg melihatku menangis di balkon setiap kali aku berbincang dengan pagi.
ssstttt, jangan bilang-bilang! sebenarnya aku tahu dia mengintipku.
Aku bahkan pernah melihatnya menjadi terlalu naif terhadap kebesaran hati.
Bisa apa aku dgn berbesar hatiku?
Lagi-lagi "aku menunggu" masih terletak cantik dalam :draft: ku
Aku tidak tahu apakah ini namanya berbesar hati? Rela? Apalah namanya.
Pagi tetap memantapkanku untuk tetap berpura-pura dalam terangnya.
Katanya "biarkan nanti saat kau telah berbesar hati, kau ada dalam malam. supaya saat pedihnya kau dapati, kau dapat bermuram bersamanya"
Subscribe to:
Comments (Atom)