Kudapati ia menganga dengan lebarnya juga ikut menyebarkan rona.
Mungkin itulah mengapa aku masih mendamba, karena ia tak ada disini untuk bersenggama dengan tawa.
Aku masih rutin menatap tanggal yg sama bahkan saat kita memiliki dimensi yg berbeda.
Dan setelah aku menyelesaikan spaghetti di hari mingguku aku masih juga menengok ke depan rumah.
Lihat, ini kan rumah yg pernah menjadi ingin kita. Di pesisir, dengan anggrek gantung berwarna ungu. Dua kursi berhadapan dan latar yg cukup lega jika anggota kita bertambah, bukan ? :)
Aku rasa tak perlu aku bersumpah sungguh untuk menyampaikan rindu.
Ini bukan hal kecil, ini besar sekali.
Dia meloncat-loncat dan akan segera tumpah.
Dimana aku harus menampungnya saat gelasku tak lagi bisa.
Kalau aku bisa menaruhnya di saku celanaku aku pasti akan membawanya kemana saja.
Namun kenapa disanapun juga tak ada celah?
Tuh kan, aku sudah bilang. Jangan membekaskan apapun kalau kau pergi.
Biarkan aku tetap menjaga rumahmu berteman angin pantai dan dengkuran ombak-ombak saat bermalasan di tengah hari.
Kemudian aku menuliskan huruf-huruf yg sengaja tidak aku rangkai.
Menggenggamnya dalam kepalan dan menebarkannya di tepi laut.
Nanti ada kehendak Tuhan yg merangkai huruf-hurufku.
Juga biar menjadi tugas Tuhan untuk menyampaikannya pada siapa. Bisa jadi bukan kau.
Aku masih belum berani menulis surat untuk kutitipkan pada hujan sore nanti.
Maafkan jika rindu masih menjelma menjadi butiran rasa saja.
Pulanglah, akan kutumpahkan semuanya.
No comments:
Post a Comment