Pagi mengajakku berbincang di balkon kecil rumahku.
Ia bercerita banyak. Hingga akhirnya ........
"Lalu, apa kabar tentang belajar berbesar hatimu?," celetuknya tanpa menggubris sedang apa lukaku saat ini karena ucapannya.
Aku pernah lupa bahwa aku harus belajar berbesar hati.
Sempat aku bersemangat, namun semangatku tiba-tiba mengarang, terbakar, dan terbang menjadi abu sombong yg bahkan sempat lewat di pipi.
Aku pernah sombong dengan tekadku untuk berbesar hati.
Tapi badut-badut itu selalu mampir ke balkonku untuk bercerita 'aku-dia'
Aku pernah kuat berdiri menginjak tekad di bawah telapak
Selalu ada yg melemaskan tungkakku.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) di setiap sentimeter aku beranjak.
Cangkir kopinya yg masih terpajang rapi bersebelahan dgn milikku.
Tali sepatunya yg lepas sebelah dan menyelip di bawah meja televisi.
Atau mungkin jaket kulitnya yg masih tergeletak di kursi makan.
Setelah kita berkecamuk dgn marah malam itu, aku tidak membereskan apapun.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) dalam sulaman yg kubuat di otakku
Selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) menjerit-jerit saat kujeruji di ruang gelap
dan selalu ada dia yg melihatku menangis di balkon setiap kali aku berbincang dengan pagi.
ssstttt, jangan bilang-bilang! sebenarnya aku tahu dia mengintipku.
Aku bahkan pernah melihatnya menjadi terlalu naif terhadap kebesaran hati.
Bisa apa aku dgn berbesar hatiku?
Lagi-lagi "aku menunggu" masih terletak cantik dalam :draft: ku
Aku tidak tahu apakah ini namanya berbesar hati? Rela? Apalah namanya.
Pagi tetap memantapkanku untuk tetap berpura-pura dalam terangnya.
Katanya "biarkan nanti saat kau telah berbesar hati, kau ada dalam malam. supaya saat pedihnya kau dapati, kau dapat bermuram bersamanya"
No comments:
Post a Comment