Di kecup terakhir kemarin aku secara sengaja menuangkan aroma kopi pekat agar beradu satu hingga menjadi candu.
Aku sudah pernah bilang, jangan pernah mengunci pintu lalu membiarkan aku sendiri di dalam rumah.
Rumah ini sudah terlalu usang, paling tidak berikan aku biji-biji kopi untuk bisa kunikmati ia bersatu di lubuk ketenangan.
Lagi lagi kau lupa mendengar.
Suatu pagi kau buka pintu rumah saat kau akan pergi, aku pasti menyelinap keluar.
Itu tanda aku meronta.
Paling tidak aku akan pergi mencicipi hujan kecil-kecil di luar sana.
Aku terlalu riang untuk hanya sekedar duduk sambil ujung jari kakiku menempel pada sarang laba di pojokan.
Ternyata hujan kecil-kecil mampu memberikan sejuk untuk ujung mataku.
Lalu aku pergi setiap pagi.
Terima kasih untuk rumah yg cukup nyaman aku tinggali dan hangat yg menyelimuti.
Aku tidak lagi jatuh cinta pada musim panas. Karena mungkin dia sudah pergi.
Aku akhirnya melayangkan maaf-maaf di setiap kali kau memintaku untuk iba
Tuhan mau apa? Biarkan Tuhan terus menulis skenarionya sambil kita menari-nari sendu dibawah lampu temaram di ujung desa.
Tuhan, jika aku adalah orang yg memberi sakit maka Kau pasti yg memberi kesembuhannya.
Pagi itu.... kecup terakhir saat sebelum aku bermain dengan hujan kecil-kecil.
No comments:
Post a Comment