Sudah lama aku singgah di rumah yg tidak berpenghuni, usang dimana-mana.
Ceritapun sudah tamat dan menua menjadi debu
Sang empunya rupanya masih belum ingin nyaman menjadi pacar si rumah.
Jadilah rumahnya dibiarkan mengusang.
Kalau mampir, atau menjadi penghuni ya silahkan, kalau tak minat ya jangan dilihat.
Memang harus sabar meniti satu persatu debunya, harus telaten setiap hari.
Aku pamit sore itu.
Karena aku punya sesak napas dan alergi debu.
Apalagi debu yg tak pernah selesai tapi tetap selalu menyesakkan.
December 25, 2012
December 17, 2012
Pulang ... Pulang ... Pulang ...
Kudapati ia menganga dengan lebarnya juga ikut menyebarkan rona.
Mungkin itulah mengapa aku masih mendamba, karena ia tak ada disini untuk bersenggama dengan tawa.
Aku masih rutin menatap tanggal yg sama bahkan saat kita memiliki dimensi yg berbeda.
Dan setelah aku menyelesaikan spaghetti di hari mingguku aku masih juga menengok ke depan rumah.
Lihat, ini kan rumah yg pernah menjadi ingin kita. Di pesisir, dengan anggrek gantung berwarna ungu. Dua kursi berhadapan dan latar yg cukup lega jika anggota kita bertambah, bukan ? :)
Aku rasa tak perlu aku bersumpah sungguh untuk menyampaikan rindu.
Ini bukan hal kecil, ini besar sekali.
Dia meloncat-loncat dan akan segera tumpah.
Dimana aku harus menampungnya saat gelasku tak lagi bisa.
Kalau aku bisa menaruhnya di saku celanaku aku pasti akan membawanya kemana saja.
Namun kenapa disanapun juga tak ada celah?
Tuh kan, aku sudah bilang. Jangan membekaskan apapun kalau kau pergi.
Biarkan aku tetap menjaga rumahmu berteman angin pantai dan dengkuran ombak-ombak saat bermalasan di tengah hari.
Kemudian aku menuliskan huruf-huruf yg sengaja tidak aku rangkai.
Menggenggamnya dalam kepalan dan menebarkannya di tepi laut.
Nanti ada kehendak Tuhan yg merangkai huruf-hurufku.
Juga biar menjadi tugas Tuhan untuk menyampaikannya pada siapa. Bisa jadi bukan kau.
Aku masih belum berani menulis surat untuk kutitipkan pada hujan sore nanti.
Maafkan jika rindu masih menjelma menjadi butiran rasa saja.
Pulanglah, akan kutumpahkan semuanya.
Mungkin itulah mengapa aku masih mendamba, karena ia tak ada disini untuk bersenggama dengan tawa.
Aku masih rutin menatap tanggal yg sama bahkan saat kita memiliki dimensi yg berbeda.
Dan setelah aku menyelesaikan spaghetti di hari mingguku aku masih juga menengok ke depan rumah.
Lihat, ini kan rumah yg pernah menjadi ingin kita. Di pesisir, dengan anggrek gantung berwarna ungu. Dua kursi berhadapan dan latar yg cukup lega jika anggota kita bertambah, bukan ? :)
Aku rasa tak perlu aku bersumpah sungguh untuk menyampaikan rindu.
Ini bukan hal kecil, ini besar sekali.
Dia meloncat-loncat dan akan segera tumpah.
Dimana aku harus menampungnya saat gelasku tak lagi bisa.
Kalau aku bisa menaruhnya di saku celanaku aku pasti akan membawanya kemana saja.
Namun kenapa disanapun juga tak ada celah?
Tuh kan, aku sudah bilang. Jangan membekaskan apapun kalau kau pergi.
Biarkan aku tetap menjaga rumahmu berteman angin pantai dan dengkuran ombak-ombak saat bermalasan di tengah hari.
Kemudian aku menuliskan huruf-huruf yg sengaja tidak aku rangkai.
Menggenggamnya dalam kepalan dan menebarkannya di tepi laut.
Nanti ada kehendak Tuhan yg merangkai huruf-hurufku.
Juga biar menjadi tugas Tuhan untuk menyampaikannya pada siapa. Bisa jadi bukan kau.
Aku masih belum berani menulis surat untuk kutitipkan pada hujan sore nanti.
Maafkan jika rindu masih menjelma menjadi butiran rasa saja.
Pulanglah, akan kutumpahkan semuanya.
Cukupkan dengan harap
Malam tadi malaikat mampir di atas kelambuku.
Ya, dia membawa serta catatannya untuk dipamerkan. Mungkin batinnya aku akan menanyakan telah seberapa bagus dia mencatat aku.
Sempat aku hampir keceplosan untuk menanya kita.
Namun lagi-lagi kamu membuat aku sesak tentang aku.
Biar aku selesaikan dulu urusan mendebarkasikan harap.
Semoga malaikat tidak mencatatat seberapa besar harap yang kamu punya.
Karena sampai saat pagi mendesah lembut di balik telinga, aku masih percaya akan harapan.
Entah apakah itu masih kau simpan rapat atau telah dinikmati debu-debu kamarmu sebagai dongengnya karena ia telah mengusang.
Itulah mengapa malam selalu rutin membuka jendelanya agar malaikat bisa menyisip dalam lengahku.
Kalaupun ia mencatatat, semoga ia tak berniat untuk membocorkan rahasia itu ke aku.
Percaya masih menjadi satu kata yg terucap dengan artikulasi cukup jelas.
Meskipun dengan notasi yang kembang kempis sama seperti saat aku mencari-cari kemana harapanku.
Dan sampai pagi datangpun, harapan masih juga menjadi tumit dimana percayaku berinjak.
December 4, 2012
Menunggu malam
Pagi mengajakku berbincang di balkon kecil rumahku.
Ia bercerita banyak. Hingga akhirnya ........
"Lalu, apa kabar tentang belajar berbesar hatimu?," celetuknya tanpa menggubris sedang apa lukaku saat ini karena ucapannya.
Aku pernah lupa bahwa aku harus belajar berbesar hati.
Sempat aku bersemangat, namun semangatku tiba-tiba mengarang, terbakar, dan terbang menjadi abu sombong yg bahkan sempat lewat di pipi.
Aku pernah sombong dengan tekadku untuk berbesar hati.
Tapi badut-badut itu selalu mampir ke balkonku untuk bercerita 'aku-dia'
Aku pernah kuat berdiri menginjak tekad di bawah telapak
Selalu ada yg melemaskan tungkakku.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) di setiap sentimeter aku beranjak.
Cangkir kopinya yg masih terpajang rapi bersebelahan dgn milikku.
Tali sepatunya yg lepas sebelah dan menyelip di bawah meja televisi.
Atau mungkin jaket kulitnya yg masih tergeletak di kursi makan.
Setelah kita berkecamuk dgn marah malam itu, aku tidak membereskan apapun.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) dalam sulaman yg kubuat di otakku
Selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) menjerit-jerit saat kujeruji di ruang gelap
dan selalu ada dia yg melihatku menangis di balkon setiap kali aku berbincang dengan pagi.
ssstttt, jangan bilang-bilang! sebenarnya aku tahu dia mengintipku.
Aku bahkan pernah melihatnya menjadi terlalu naif terhadap kebesaran hati.
Bisa apa aku dgn berbesar hatiku?
Lagi-lagi "aku menunggu" masih terletak cantik dalam :draft: ku
Aku tidak tahu apakah ini namanya berbesar hati? Rela? Apalah namanya.
Pagi tetap memantapkanku untuk tetap berpura-pura dalam terangnya.
Katanya "biarkan nanti saat kau telah berbesar hati, kau ada dalam malam. supaya saat pedihnya kau dapati, kau dapat bermuram bersamanya"
Ia bercerita banyak. Hingga akhirnya ........
"Lalu, apa kabar tentang belajar berbesar hatimu?," celetuknya tanpa menggubris sedang apa lukaku saat ini karena ucapannya.
Aku pernah lupa bahwa aku harus belajar berbesar hati.
Sempat aku bersemangat, namun semangatku tiba-tiba mengarang, terbakar, dan terbang menjadi abu sombong yg bahkan sempat lewat di pipi.
Aku pernah sombong dengan tekadku untuk berbesar hati.
Tapi badut-badut itu selalu mampir ke balkonku untuk bercerita 'aku-dia'
Aku pernah kuat berdiri menginjak tekad di bawah telapak
Selalu ada yg melemaskan tungkakku.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) di setiap sentimeter aku beranjak.
Cangkir kopinya yg masih terpajang rapi bersebelahan dgn milikku.
Tali sepatunya yg lepas sebelah dan menyelip di bawah meja televisi.
Atau mungkin jaket kulitnya yg masih tergeletak di kursi makan.
Setelah kita berkecamuk dgn marah malam itu, aku tidak membereskan apapun.
Karena selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) dalam sulaman yg kubuat di otakku
Selalu ada 'aku-dia' (bukan lagi kita) menjerit-jerit saat kujeruji di ruang gelap
dan selalu ada dia yg melihatku menangis di balkon setiap kali aku berbincang dengan pagi.
ssstttt, jangan bilang-bilang! sebenarnya aku tahu dia mengintipku.
Aku bahkan pernah melihatnya menjadi terlalu naif terhadap kebesaran hati.
Bisa apa aku dgn berbesar hatiku?
Lagi-lagi "aku menunggu" masih terletak cantik dalam :draft: ku
Aku tidak tahu apakah ini namanya berbesar hati? Rela? Apalah namanya.
Pagi tetap memantapkanku untuk tetap berpura-pura dalam terangnya.
Katanya "biarkan nanti saat kau telah berbesar hati, kau ada dalam malam. supaya saat pedihnya kau dapati, kau dapat bermuram bersamanya"
November 25, 2012
48 tahun-nya Bunda
25 November 2012 ,
Selamat ulang tahun Bunda...
Bukan. Bukan 48 tahun yg telah kau lewati. Tapi 48 tahun dengan penuh pasang surut hidup mulai dari ekonomi, percaya diri, kepercayaan, penghargaan dan penghormatan, kebahagiaan, dan seluruhnya. 48 tahun ya? Bukan waktu yg cukup pendek untuk berjuang dalam kehidupan meraih cita baik cita diri sendiri hingga cita orang lain yg sebenarnya kita tidak hendaki. Yaaa, tapi itulah bunda. Meskipun kadang kita harus memberikan dukungan penuh kalau pe-de nya lagi gak oke, tapi berserah diri selalu menjadi pondasi bunda untuk selalu bijak menghadapi tantangan Tuhan.
Sekilas saya membayangkan betapa rapihnya hidup bunda, persis seperti apa yg bunda ajarkan ke- kedua anak gadisnya. Bunda ngga mungkin membiarkan belakang pintu ada baju yg tergantung (ini rahasia kita: padahal di belakang pintu memang terpasang gantungan baju!) , sepatu tidak masuk lagi ke dalam box nya, dan semua hal detail di dalam rumah. Tapi tidak dengan hidup bunda, naik turun hidup seperti biasa tetap hadir di rekaman 48 tahun bunda.
Serangan panik selalu jadi langganan yg menjadikan bunda sasaran empuk, dan saya adalah satu dari dua anak gadisnya yg mewarisi itu. Bangga rasanya menjadi anak dari sosok bunda saya yg ulet, ramah, dan telaten. Bunda saya seorang dosen ekonomi. Bunda kaya bola bekel! apalagi setiap kali mengurusi ini-itu yg berkaitan dengan manajerial kampus. Lagi-lagi bunda tidak pernah ingin merasakan capeknya. Bukti nyata, teh yg bunda bikinkan selalu dengan manis yg pas dan panas yg nyaman.
Sedih rasanya sudah sebesar ini tapi masih belum bisa membanggakan bunda yg kulitnya sudah mulai keriput, kelincahannya sudah kendor bahkan untuk naik tangga sekalipun. Bunda punya banyak anak angkat, mulai dari tetangga, orang lain, bahkan sampai mahasiswanya sendiri. Bunda gemar menyekolahkan (dengan cara apapun bunda membantu) mereka yg sangat mampu namun kurang peruntungan ekonominya. Salah satu semangat bunda ini yg menjadikan gelora saya untuk banyak membantu di LSM yg saat ini sedang saya fokusi. Semoga semangat bunda selalu jadi inspirasi saya untuk terus berjalan sambil menggandeng mereka yg lemah.
48 tahun-nya bunda, semoga bunda diberikan umur yg panjang, kesehatan, keselamatan, kesabaran, rizqi yg tidak semakin menyombongkan kami, senyum yg semakin ikhlas, serta berkah-berkah Tuhan lainnya. I love you, Bunda <3
November 23, 2012
Bicara Hati
Pagiku lenyap, tertahan gelap yg masih menemani.
Aku ingin bersembunyi! Setidaknya menyimpan pedihku dalam-dalam
Aku kemarin berlari terlalu kencang. Bahkan hingga tidak seirama dengan nafasku
Aku kemarin terlalu menengadahkan kepala, hingga urat di leherku begitu letih.
Aku kemarin terlalu bergembira dengan balon yg berwarna-warni
Ternyata saat ia meletus kulit di pipiku juga ikut nyeri
Bicara hati.
Kata jarum detik jam, ia tidak menunggu siapapun untuk terus bergerak.
Begitu juga aku, aku bukan siapa-siapa yg bisa membuat jarum jam rela berhenti sejenak.
Terlalu banyak kesempatan jika ia berhenti bergerak.
Meskipun harus naik-turun, jarum tetap bergerak. Lagi, tidak menunggu siapapun.
Bicara hati.
Sudah berapa banyak waktu yg aku siakan? Andaikan aku bisa menghitungnya dengan pasti.
Mungkin hanya untuk sekedar bermain hujan atau lari-lari kecil melewati rumah mewah di sudut jalan.
Sudah berapa banyak kesempatan yg aku biarkan duduk manis di dalam box nya?
Aku sudah sempat mengintipnya sendiri di dalam box itu, tapi ah sudahlah toh aku sedang tidak membutuhkan.
Sudah berapa banyak "ah sudahlah" yg aku ciptakan?
Bicara hati.
Sudah saatnya aku bicara tentang hati.
Yg selama ini pilu dengan penyesalan-penyesalan.
Aku bicara dengan hati, kata hati "bahkan waktupun tidak menunggu aku untuk sembuh terlebih dahulu"
Aku ingin bersembunyi! Setidaknya menyimpan pedihku dalam-dalam
Aku kemarin berlari terlalu kencang. Bahkan hingga tidak seirama dengan nafasku
Aku kemarin terlalu menengadahkan kepala, hingga urat di leherku begitu letih.
Aku kemarin terlalu bergembira dengan balon yg berwarna-warni
Ternyata saat ia meletus kulit di pipiku juga ikut nyeri
Bicara hati.
Kata jarum detik jam, ia tidak menunggu siapapun untuk terus bergerak.
Begitu juga aku, aku bukan siapa-siapa yg bisa membuat jarum jam rela berhenti sejenak.
Terlalu banyak kesempatan jika ia berhenti bergerak.
Meskipun harus naik-turun, jarum tetap bergerak. Lagi, tidak menunggu siapapun.
Bicara hati.
Sudah berapa banyak waktu yg aku siakan? Andaikan aku bisa menghitungnya dengan pasti.
Mungkin hanya untuk sekedar bermain hujan atau lari-lari kecil melewati rumah mewah di sudut jalan.
Sudah berapa banyak kesempatan yg aku biarkan duduk manis di dalam box nya?
Aku sudah sempat mengintipnya sendiri di dalam box itu, tapi ah sudahlah toh aku sedang tidak membutuhkan.
Sudah berapa banyak "ah sudahlah" yg aku ciptakan?
Bicara hati.
Sudah saatnya aku bicara tentang hati.
Yg selama ini pilu dengan penyesalan-penyesalan.
Aku bicara dengan hati, kata hati "bahkan waktupun tidak menunggu aku untuk sembuh terlebih dahulu"
Mencaci Tuhan
Kalau tren orang-orang sekarang adalah "hidup tak semudah kata pak mario teguh" tapi mereka ikut-ikutan banyak quote-ing hal itu, saya lebih suka untuk belajar sendiri tentang naik-turunnya hidup. Mungkin juga naik-turunnya mood Tuhan untuk kasih saya happiness. No! Jangan sekali-sekali menyalahkan Tuhan, Dia tahu yg terbaik.
Saya sedang sibuk membaca agenda harian saya yg mungil ini. Pekerjaan yg mengharuskan saya menyelesaikan analisis dalam waktu kurang dari seminggu, lalu menggarap concept paper nya. Tugas akhir studi (kata gaulnya: skripsi) juga melambai-lambai cantik sedari kemarin. Belum lagi adik-adik asuh yg menunggu kami di penampungan kumuh itu. Menyenangkan sekali punya banyak kegiatan yg mengisi buku agenda saya setiap harinya.
Bukan berarti biasanya saya tidak seperti ini tapi entah kenapa kegiatan akhir-akhir ini begitu membuat saya membuka hati seluas mungkin. Saya sadar banyak diantaranya saya lakukan untuk orang lain. Kata ayah saya, Tuhan memang menghadiahkan hidup ini untuk kita tapi bukan berarti hidup kita habiskan untuk kita sendiri. Ya, kata-kata itu yg selalu jadi semangat saya untuk terus bangkit bahkan di saat pesimisme sangat melekat di diri saya.
Saya pernah seperti ini sekitar 5 tahun lalu. Patah hati, haha. Sudah bukan saatnya untuk itu di umur saya yg sudah berkepala 2 ini. Tapi Tuhan selalu menyiapkan hal yg satu ini agar kita tidak menyepelakan cinta-cinta yg dihadirkannya lewat ornag-orang yg begitu dekat dengan nafas kita. Tuhan juga tidak kehabisan akal untuk menaik-turunkan kepercayaan kita akan-Nya.
Sempat, dalam beberapa minggu lalu saya pernah mencaci Tuhan dalam batin. Tidak, saya tidak berani berkata-kata takut kualat. Saya bilang "Saya tidak menemukan jalan pulang, Tuhan." tapi lagi-lagi Tuhan punya cara untuk menjawab bahkan untuk cacian tak bermutu itu sekalipun. Mencaci itu tidak enak saudara! seperti gersang dalam dingin yg teramat sangat, bisa-bisa hipotermia jika terus-terus dibiarkan. Ternyata disaat saya seperti ini, Tuhan mungkin sedang rindu saya. Tuhan ingin mendekap saya begitu erat. Lalu saya beranjak, bergegas ke pancuran kecil mengambil air suci lalu berlama-lama dalam sujud.
Kerinduan selalu membuat batin semakin terjepit, disitulah keeratan dapat mendekap dengan penuh lalu kemudian menjadi tameng diri supaya tidak dibutakan rindu yg melumpuhkan.
Rindu dengan siapa malam ini?
November 2, 2012
pulang kemana?
Di kecup terakhir kemarin aku secara sengaja menuangkan aroma kopi pekat agar beradu satu hingga menjadi candu.
Aku sudah pernah bilang, jangan pernah mengunci pintu lalu membiarkan aku sendiri di dalam rumah.
Rumah ini sudah terlalu usang, paling tidak berikan aku biji-biji kopi untuk bisa kunikmati ia bersatu di lubuk ketenangan.
Lagi lagi kau lupa mendengar.
Suatu pagi kau buka pintu rumah saat kau akan pergi, aku pasti menyelinap keluar.
Itu tanda aku meronta.
Paling tidak aku akan pergi mencicipi hujan kecil-kecil di luar sana.
Aku terlalu riang untuk hanya sekedar duduk sambil ujung jari kakiku menempel pada sarang laba di pojokan.
Ternyata hujan kecil-kecil mampu memberikan sejuk untuk ujung mataku.
Lalu aku pergi setiap pagi.
Terima kasih untuk rumah yg cukup nyaman aku tinggali dan hangat yg menyelimuti.
Aku tidak lagi jatuh cinta pada musim panas. Karena mungkin dia sudah pergi.
Aku akhirnya melayangkan maaf-maaf di setiap kali kau memintaku untuk iba
Tuhan mau apa? Biarkan Tuhan terus menulis skenarionya sambil kita menari-nari sendu dibawah lampu temaram di ujung desa.
Tuhan, jika aku adalah orang yg memberi sakit maka Kau pasti yg memberi kesembuhannya.
Pagi itu.... kecup terakhir saat sebelum aku bermain dengan hujan kecil-kecil.
Aku sudah pernah bilang, jangan pernah mengunci pintu lalu membiarkan aku sendiri di dalam rumah.
Rumah ini sudah terlalu usang, paling tidak berikan aku biji-biji kopi untuk bisa kunikmati ia bersatu di lubuk ketenangan.
Lagi lagi kau lupa mendengar.
Suatu pagi kau buka pintu rumah saat kau akan pergi, aku pasti menyelinap keluar.
Itu tanda aku meronta.
Paling tidak aku akan pergi mencicipi hujan kecil-kecil di luar sana.
Aku terlalu riang untuk hanya sekedar duduk sambil ujung jari kakiku menempel pada sarang laba di pojokan.
Ternyata hujan kecil-kecil mampu memberikan sejuk untuk ujung mataku.
Lalu aku pergi setiap pagi.
Terima kasih untuk rumah yg cukup nyaman aku tinggali dan hangat yg menyelimuti.
Aku tidak lagi jatuh cinta pada musim panas. Karena mungkin dia sudah pergi.
Aku akhirnya melayangkan maaf-maaf di setiap kali kau memintaku untuk iba
Tuhan mau apa? Biarkan Tuhan terus menulis skenarionya sambil kita menari-nari sendu dibawah lampu temaram di ujung desa.
Tuhan, jika aku adalah orang yg memberi sakit maka Kau pasti yg memberi kesembuhannya.
Pagi itu.... kecup terakhir saat sebelum aku bermain dengan hujan kecil-kecil.
October 10, 2012
Ah, Perempuan
Sebagai perempuan aku juga tidak paham mengapa kami membentuk sifat-sifat berikut ini. Bukan diciptakan dengan sifat-sifat seperti ini. Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu yang buruk bahkan hingga sifat perempuan sekalipun. Bahkan perempuan sering digambarkan sebagai keelokan yang mampu menyentuh, membangkitkan, atau bisa jadi menjerumuskan. Sering kali setelah mematikan laptop aku kemudian menelisik bayang-bayang pantulan diriku di layar. Susah sekali menemui bekas jerawat di dagu yang biasanya sangat nampak jika bercermin pakai kaca di atas wastafel. Noda itu terus bermain-main dengan bersembunyi. Harus dengan sudut dan posisi yang tepat untuk menemukannya. And, Gotcha! Ujung jari telunjukpun ikut caper dengan menyenggolnya sedikit. Cuma syarat.
Mungkin seperti itu bagaimana aku mencoba mengenali "keperempuan" di diriku dengan sifat-sifatnya yang terbentuk (bukan diciptakan). Aku harus menelisik ke dalam diri namun kadang buyar saat percaya diri mulai meninggi. Oh perempuan, mengapa kau begitu sensitif dan mudah terluka. Mungkin karena perempuan terlalu banyak menyimpan detail. Detail bau badan kekasih, sepatu lusuhnya, t-shirt dengan warna yang kumel, hingga rambut-rambut di bawah hidung dan di dagu yang mulai menebal. Detail-detail adalah kegemaran perempuan, tidak ingin melewatkan sekecil darinya yang nampak. Kuteknya tidak merata - aceton bekerja. Beberapa helai rambut tidak ikut terikat - sisir bekerja kembali. Begitulah detail yang ingin selalu dicatatnya.
Perasaan amburadul bisa jadi akibat dari terlalu memperhatikan setiap detail itu. Sudah tau kalimat-kalimat itu akan menjadi sangat menyebalkan, mengapa masih terus menelusur huruf demi hurufnya? Ah, perempuan. Aku tidak begitu tahu apakah "melankolis" juga termasuk sifat yang terbentuk (bukan tercipta) untuk perempuan. Berlama-lama bersedih lalu bangkit dan menertawakan masa-masanya sendiri saat merangkak ringkih. Ah, perempuan.
Kata mereka inilah ciptaan Tuhan yang nantinya akan dipasangkan Tuhan dengan dia-dia yang kokoh bak prajurit dengan dada membusung dan kantong busur panah digenggamnya dengan kuat. Lelaki. Kata mereka, lelaki yang kuat diciptakan untuk melindungi perempuan yang lemah. Ah masa iya? Kalau boleh aku memilih yang berperan sebagai penunggang kuda dan membawa tameng. Menurutku kami (perempuan) tidak (selalu) sepihak dengan kelemahan, begitu juga lelaki tidak (selalu) sepihak dengan kegagahan. Mungkin maksud Tuhan adalah menciptakan kami (perempuan dan lelaki) untuk saling menguatkan. Bagaimana dengan harus menjadi kuat seorang diri bagi perempuan?
Mungkin beberapa kali Tuhan menguji kami-kami sebagai perempuan untuk bangkit dengan sendiri meskipun dengan ringkih dan masih mengusap luka yang masih basah. Mungkin beberapa kali Tuhan mempertemukan kami dengan balon-balon cemburu yang tidak tahu harus diapakan. Lepaskan supaya ia pergi dan mengempes sendiri di udara. Atau memegang talinya erat dan diikatkan di pegangan pintu seperti yang biasa ku lakukan masa kecil lalu menjadikannya hiburan. Ataukah harus kami letuskan hingga suaranya memekakkan telinga? Ah perempuan.
Tidak masalah jika kami harus berdiri sendiri meskipun Tuhan melihat betapa ringkihnya kami saat terjatuh. Toh yang bermasalah adalah mereka-mereka yang tidak pernah yakin akan Tuhan dan tidak tahu dimana harus bersandar. Tidak masalah jika ketegaran juga harus kami cari di dasar oase asalkan berkeyakinan Tuhan akan selalu ada.
Sudah tidak jamannya menunggu prajurit gagah berani datang untuk memapah! Sekarang saatnya memiliki tamengnya sendiri. Sekarang saatnya melepas detail-detail yang kiranya akan mengganggu pulasnya malam nanti. Sekarang saatnya mengaudisi mana-mana detail yang harus disimpan dalam-dalam untuk kamu baca-baca saat tubuhmu mulai menggigil dan kopi malam menemani hingga larut. Sekarang saatnya bertindak pada balon-balon cemburu pemberian Tuhan yang selama ini diacuhkan.
Ah, perempuan.
October 9, 2012
tidak pernah sunyi akan doa dan syukur
Labbaik Allahumma Labbaik ..
Masih pekat di ingatan, 2007 lalu aku mengantarkan ayah mengantri di Bank Daerah Jawa Timur.
Selepas pulang sekolah aku dibonceng ayah menuju bank pembangunan daerah ini.
Antrian yang sesak membuat hem putih-ku lusuh. Berkali aku memerhatikan nomor antrian di depan teller bank. Berganti ... berganti .... dan masih menanti ...
Di depan teller ayah menyerahkan beberapa lembar untuk menjadi tabungan haji ayah dan bunda..
Ayah dan bunda rajin menyisihkan sedikit demi sedikit uang jerih payah mereka untuk melengkapi kewajiban biaya ibadah mereka ini.
Juni 2012
Ada surat di atas meja makan kami. Di atas kop surat disebutkan si pengirim adalah dari Departemen Agama Provinsi Jawa Timur. Setelah shalat maghrib aku mengintip ayah sedang membuka surat tersebut.
Beliau berlari ke surau yang ada di rumah kami, bersujud di atas sajadah shalatnya.
Subhanallah.. ayah dan bunda insya Allah akan menunaikan haji tahun ini kak, begitu kata beliau.
Setelah itu mereka berdua sibuk untuk mencari ilmu mengenai ibadah haji di KBIH yang cukup profesional dan membimbing calon jemaah dengan sabarnya. Bapak Molik, Ketua yayasan KBIH tempat kedua orang tuaku diberi pelayanan yang Subhanallah luar biasa.
Alhamdulillah.. Mereka semakin mantap berbekal ilmu-ilmu yang telah diberikan.
19 September 2012
Malam itu kami semua menggelar doa bersama yang dihadiri saudara-saudara dan tetangga untuk kedua orang tua kami yang akan berangkat dalam 3 hari ke depan.
Setelah 5 tahun menunggu, yang tidak hanya menunggu tapi menahan rindu begitu dalam dan berlatih bersabar untuk menjemput panggilan-Nya.
Semua urusan administrasi sudah beres. Alhamdulillah saudara-saudara dan seluruh rekanan kedua orang tuaku selalu membantu. Allahuakbar kedua orang tuaku insya Allah adalah orang-orang yg bermanfaat karena 24 jam dalam 3 hari tersebut kami terus menerus menerima tamu yang mendoakan keduanya sebelum keberangkata.
Tepat pada tanggal 24 September pukul 00.00 lalu mereka terbang menuju Jeddah
Hari demi hari dilaluinya dengan tangis bahagia, sujud syukur dan mohon ampun, menyeru-serukan kebaikan Allah akan kasihNya. Mereka berdua bercerita dengan penuh haru dan syukur setiap kali aku dan adik menelepon (biasanya setelah shalat isya kami menelepon beliau berdua).
Ayah. aku dan adik berkali-kali menanyakan kabarnya. Kesehatannya.
Beberapa hari sebelum berangkat ke tanah suci beliau melakukan operasi pengangkatan benjolan di telapak kakinya.
Aku ingat betul bagaimana ayah tertatih berjalan sesekali menggigit bibir bawahnya.
Merasakan pedih dan nyeri jahitan di telapaknya. Apalagi saat berpindah dari Madinah ke Mekkah seperangkat obatnya tertinggal. Yaa Allah Yaa Rahim berikan kasih-Mu dan penyembuhan-Mu bagi beliau.
Bunda selalu sehat dan semakin bersemangat. Susah menemukan sayuran disana kata beliau yang selalu rajin makan sayur. Tapi Alhamdulillah zat apapun yang diberikan Allah dalam setiap butir makanannya selalu menguatkan untuk melakukan semua kegiatan ibadah.
Yaa Allah Yaa Waliy Yaa Raqib berikanlah perlindunganMu untuk beliau berdua.
Amin
Masih pekat di ingatan, 2007 lalu aku mengantarkan ayah mengantri di Bank Daerah Jawa Timur.
Selepas pulang sekolah aku dibonceng ayah menuju bank pembangunan daerah ini.
Antrian yang sesak membuat hem putih-ku lusuh. Berkali aku memerhatikan nomor antrian di depan teller bank. Berganti ... berganti .... dan masih menanti ...
Di depan teller ayah menyerahkan beberapa lembar untuk menjadi tabungan haji ayah dan bunda..
Ayah dan bunda rajin menyisihkan sedikit demi sedikit uang jerih payah mereka untuk melengkapi kewajiban biaya ibadah mereka ini.
Juni 2012
Ada surat di atas meja makan kami. Di atas kop surat disebutkan si pengirim adalah dari Departemen Agama Provinsi Jawa Timur. Setelah shalat maghrib aku mengintip ayah sedang membuka surat tersebut.
Beliau berlari ke surau yang ada di rumah kami, bersujud di atas sajadah shalatnya.
Subhanallah.. ayah dan bunda insya Allah akan menunaikan haji tahun ini kak, begitu kata beliau.
Setelah itu mereka berdua sibuk untuk mencari ilmu mengenai ibadah haji di KBIH yang cukup profesional dan membimbing calon jemaah dengan sabarnya. Bapak Molik, Ketua yayasan KBIH tempat kedua orang tuaku diberi pelayanan yang Subhanallah luar biasa.
Alhamdulillah.. Mereka semakin mantap berbekal ilmu-ilmu yang telah diberikan.
19 September 2012
Malam itu kami semua menggelar doa bersama yang dihadiri saudara-saudara dan tetangga untuk kedua orang tua kami yang akan berangkat dalam 3 hari ke depan.
Setelah 5 tahun menunggu, yang tidak hanya menunggu tapi menahan rindu begitu dalam dan berlatih bersabar untuk menjemput panggilan-Nya.
Semua urusan administrasi sudah beres. Alhamdulillah saudara-saudara dan seluruh rekanan kedua orang tuaku selalu membantu. Allahuakbar kedua orang tuaku insya Allah adalah orang-orang yg bermanfaat karena 24 jam dalam 3 hari tersebut kami terus menerus menerima tamu yang mendoakan keduanya sebelum keberangkata.
Tepat pada tanggal 24 September pukul 00.00 lalu mereka terbang menuju Jeddah
Hari demi hari dilaluinya dengan tangis bahagia, sujud syukur dan mohon ampun, menyeru-serukan kebaikan Allah akan kasihNya. Mereka berdua bercerita dengan penuh haru dan syukur setiap kali aku dan adik menelepon (biasanya setelah shalat isya kami menelepon beliau berdua).
Ayah. aku dan adik berkali-kali menanyakan kabarnya. Kesehatannya.
Beberapa hari sebelum berangkat ke tanah suci beliau melakukan operasi pengangkatan benjolan di telapak kakinya.
Aku ingat betul bagaimana ayah tertatih berjalan sesekali menggigit bibir bawahnya.
Merasakan pedih dan nyeri jahitan di telapaknya. Apalagi saat berpindah dari Madinah ke Mekkah seperangkat obatnya tertinggal. Yaa Allah Yaa Rahim berikan kasih-Mu dan penyembuhan-Mu bagi beliau.
Bunda selalu sehat dan semakin bersemangat. Susah menemukan sayuran disana kata beliau yang selalu rajin makan sayur. Tapi Alhamdulillah zat apapun yang diberikan Allah dalam setiap butir makanannya selalu menguatkan untuk melakukan semua kegiatan ibadah.
Yaa Allah Yaa Waliy Yaa Raqib berikanlah perlindunganMu untuk beliau berdua.
Amin
Bismillahirrahmanirrahim
Aku mulai menulis lagi .
Semoga semakin banyak doa yang seiring dengan syukur yang tidak pernah sunyi.
Semoga bisa menjadi halaman-halaman renungan, kenangan, dan angan bagiku dan mereka-mereka yang hadir.
Bismillahirrahmanirrahim..
Semoga semakin banyak doa yang seiring dengan syukur yang tidak pernah sunyi.
Semoga bisa menjadi halaman-halaman renungan, kenangan, dan angan bagiku dan mereka-mereka yang hadir.
Bismillahirrahmanirrahim..
Subscribe to:
Comments (Atom)